Pemberantasan premanisme dinilai masih berjalan timpang. Di satu sisi, aparat kepolisian dinilai sudah menjalankan tugas penegakan hukum, namun di sisi lain pemerintah daerah dinilai pasif dan minim langkah konkret. Akibatnya, aksi-aksi premanisme seperti pemalakan, pemerasan, hingga intimidasi terhadap pelaku usaha masih marak terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Barat.
Pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, menilai premanisme sebagai ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan keamanan dunia usaha. Ia menyebut, negara berkewajiban untuk menjamin perlindungan hukum dan rasa aman bagi setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
"Negara wajib hadir memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada setiap warga negara. Setiap orang berhak atas perlindungan diri, harta benda, dan rasa aman dari ketakutan," kata Herman kepada wartawan, Kamis, 22 Mei 2025.
Menurutnya, aksi premanisme kerap mengandung unsur tindak pidana seperti pemerasan, pengeroyokan, bahkan ancaman kekerasan. Oleh karena itu, penindakan menjadi kewenangan mutlak aparat kepolisian sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun, Herman menegaskan bahwa penindakan hukum tidak cukup bila tidak disertai dengan upaya menyentuh akar masalah. Ia menilai, premanisme tumbuh subur karena ketimpangan sosial ekonomi, seperti minimnya lapangan kerja, rendahnya tingkat pendidikan, serta terbatasnya akses terhadap peluang usaha.
"Jika akar masalah ini tidak ditangani, tekanan terhadap premanisme justru bisa mendorong lahirnya bentuk kejahatan lain seperti pencurian, pembegalan, hingga perampokan," katanya.
Herman mendesak pemerintah daerah agar tidak hanya bergantung pada pendekatan represif oleh kepolisian, melainkan turut bertanggung jawab dalam mencegah premanisme melalui kebijakan ekonomi yang berpihak pada masyarakat kelas bawah.
"Pemerintah daerah harus aktif menciptakan solusi konkret. Seperti membuka lapangan kerja, menyelenggarakan pelatihan keterampilan, serta mempermudah akses permodalan usaha. Itu langkah strategis jangka panjang," tegasnya.
Sayangnya, lanjut Herman, banyak pemerintah daerah yang justru bersikap pasif, bahkan terkesan lebih fokus pada pencitraan ketimbang menyelesaikan persoalan mendasar.
"Yang terjadi hari ini, penegakan hukum dilakukan oleh kepolisian, tapi pemerintah daerah justru jadi penonton. Tidak ada langkah konkret, hanya sibuk dengan pencitraan dan pernyataan-pernyataan yang kadang justru berbau ancaman," ujarnya.
Selain preman jalanan, Herman juga menyoroti fenomena "preman berdasi" atau "preman kerah putih" yang marak di lingkungan birokrasi maupun ormas. Ia mengatakan, pelaku usaha banyak yang dipaksa memberikan uang dalam bentuk proposal kegiatan yang mengatasnamakan institusi tertentu.
"Ini sama saja dengan premanisme. Bedanya hanya pada cara berpakaian dan status sosial mereka. Tapi substansinya tetap pemerasan," katanya.
Ia berharap upaya pemberantasan premanisme ke depan dilakukan secara menyeluruh, melibatkan penegakan hukum yang tegas serta langkah pemberdayaan ekonomi dan sosial yang aktif oleh pemerintah daerah.
Sumber :Dr Herman Hofi
Publis : Peru
Social Header