Kalbar.Xpost.co.idPontianak, Kalimantan Barat —
Peredaran barang ilegal di wilayah perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar) semakin tak terkendali. Dari rokok tanpa cukai, bawang selundupan, hingga daging beku dan minuman beralkohol ilegal, berbagai komoditas ilegal dengan mudah melintasi jalur tikus yang tersebar di sepanjang perbatasan Indonesia–Malaysia. Fenomena ini menunjukkan krisis serius dalam sistem penegakan hukum dan lemahnya kehadiran negara di wilayah strategis.
Pakar hukum perbatasan, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti situasi ini sebagai bentuk darurat nasional. Ia menilai lemahnya pengawasan Bea dan Cukai serta aparat penegak hukum lainnya telah menciptakan celah besar bagi praktik penyelundupan yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah per tahun.
“Masuknya barang-barang ilegal ini berlangsung masif dan terbuka. Seolah-olah tak ada yang menjaga gerbang negara. Kondisi ini memicu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum,” ujarnya, Sabtu (17/5/2025).
Dr. Herman menyebutkan bahwa praktik penyelundupan ini melanggar sejumlah undang-undang penting, seperti:
UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang menegaskan sanksi pidana bagi pelaku penyelundupan;
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terkait distribusi barang tanpa izin edar dan standar mutu;
Pasal 480 KUHP, yang mengatur hukuman bagi penadah hasil kejahatan.
“Barang ilegal ini tidak hanya merusak pasar, tapi juga memperkaya jaringan kriminal dan menimbulkan potensi bahaya bagi kesehatan masyarakat,” tambahnya.
Dr. Herman juga mengungkapkan bahwa aktivitas penyelundupan kerap bersinggungan dengan kejahatan lintas negara lain seperti pencucian uang dan perdagangan manusia. Menurutnya, lemahnya tindakan aparat bahkan menandakan adanya kompromi atau pembiaran yang bersifat sistemik.
Seorang pakar hukum ekonomi, yang enggan disebutkan namanya, menyebut kondisi ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam menegakkan supremasi hukum. Ia mengkritik sikap pasif aparat yang justru memunculkan kesan bahwa hukum telah menjadi formalitas belaka.
“Bos Kebal Hukum” di Perbatasan
Salah satu nama yang mencuat adalah "Bos J", seorang pengusaha bawang asal Malaysia yang disebut-sebut mengendalikan jalur penyelundupan di Bengkayang. Ia diketahui memiliki gudang besar di Jalan Sebalo Pisang Sentangi, Desa Bani Amas, dan dikenal kerap mengklaim dirinya tak tersentuh hukum karena sudah “berkoordinasi” dengan pihak tertentu.
Saksi lokal menyebut, “Kalau sudah setor ke orang dalam, semuanya bisa jalan. Barang keluar-masuk tanpa hambatan. Aparat seperti hanya pelengkap.”
Data internal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat mencatat lebih dari 120 kasus penyelundupan dalam empat bulan pertama 2025. Namun hanya sebagian kecil yang benar-benar diproses hingga pengadilan, memunculkan pertanyaan besar terkait konsistensi dan integritas penegakan hukum.
Desakan Evaluasi dan Reformasi
Menanggapi kondisi ini, berbagai pihak mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat di wilayah perbatasan. Pemerintah pusat juga didesak membentuk tim independen nasional untuk menyelidiki kemungkinan adanya jaringan beking dan pembiaran dalam praktik penyelundupan ini.
“Ini soal kedaulatan negara. Kita butuh keberanian politik, bukan sekadar operasi sesaat. Aktor intelektual dan beking di belakang layar harus ditindak tegas,” pungkas Dr. Herman.
Pertanyaannya kini: masihkah negara hadir di garis perbatasan, atau telah kalah oleh uang dan jaringan kejahatan terorganisir?
Sumber : Herman Hofi Munawar,pakar hukum ekonomi
Publis : Per
-
Social Header